Selalu di setiap hari minggu, Luh Tari mengayuh sepedanya pelan. Sepeda tua yang selalu menemani dirinya tatkala akan berpergian. Memang, gadis itu sangat mandiri. Beda dengan teman-teman seusianya, yang hanya diam di rumah membantu ibunya mejejaitan. Luh Tari tidak seperti itu. Ia tidak suka hanya duduk diam, merangkai janur kuning hingga menjadi sesajen. Membosankan katanya.
Hidup di desa membuat dirinya masih bisa menghirup udara segar. Melihat embun turun perlahan dikala sang fajar menjelang. Diantara gelap remang yang berangsur menghilang. Hanya ada sesekali orang desa yang menuju sawahnya. Menggarap sepetak sawah. Orang-orang memang mengenalinya, sesekali mereka menyapa. Ia selalu membalasnya dengan senyuman. Senyum manis bak madu. Bibirnya merah merona seperti selalu menggunakan gincu. Sebuah cerminan seorang gadis yang sempurna.
Tak terasa hari sudah terang. Keriuhan pasar memecah ketenangan pagi hari. Pedagang menjajakan dagangannya dipinggir jalan. Sesekali lewat ibu-ibu menjunjung barang diatas kepalanya.Luh Tari menekan bel sambil menyapa orang-orang. Ia terus mengayuh pelan sepedanya. Pelan tapi pasti, tempat yang dia tuju tak jauh dari situ.
Decitan suara rem sepeda terdengar bersamaan dengan berhentinya kayuhan sepasang kaki jenjang. Iya sudah sampai di tujuannya. Disenderkannya sepeda tua itu dipagar tanaman sebelah. Luh Tari lalu memasuki toko yang sudah tak asing lagi olehnya. Sang penjaga tokopun sudah sangat akrab dengannya.
“Luh Tari, pagi benar datang kemari.”
“Ah Bapak bisa saja. Saya kan memang selalu datang jam segini.”
“Itu pesananmu sudah datang. Oh iya, itu banyak warna yang baru datang. Ayo silakan dipilih.”
Langkah kakinya mengantarkannya menuju rak-rak tumpukan cat dan alat lukis. Memang, Luh Tari sangat senang melukis. Menggoreskan kuas, dengan warna-warna yang sangat serasi. Baginya, gambaran abstrakpun sangat indah. Lukisan abstrak mencoba menjelaskan sesuatu dibalik goresan- goresan warna yang serasi. Namun, Luh Tari lebih senang melukis lukisan figuratif seperti melukis ekspresi si Poleng, anjing kesayangannya.
Langkahnya terhenti di rak cat. Ia melihat-lihat tumpukan kaleng dengan debu tipis itu. Sesekali ia mengangkatnya untuk melihat warna cat itu. Ia memilih beberapa warna. Coklat, kuning merah, hitam dan beberapa warna yg ia rasa cukup.
“Saya ambil ini lagi, bapak.”
“Wah, mau buat lukisan apa, luh? Banyak sekali beli warnanya”
“Tidak juga, bapak. Lagian Bapak Nyoman tadi nawarin.”
Luh Tari membayar belanjaanya. Kemudian pamit dengan Bapak Nyoman. Dia mengambil kembali sepedanya yang ia taruh di pagar dari tanaman sebelah toko itu. Dijepitnya sebuah kanvas yang sedang dan beberapa kuas. Cat warnanya di taruh di keranjang depan. Ia memastikan sekali lagi kalo barangnya sudah terikat kuat. Dikayuhnya lagi sepeda tuanya itu. Dikayuh pelan menuju desa dipinggiran kota.
Matahari sudah mulai meninggi. Hangatnya matahari kian lama terasa panas. Peluh Luh Tari membasahi dahinya, sedikit menetes ke pelipisnya. Sudah tiga per empat jalan pikirnya. Jarak dari desanya ke kota memang lumayan jauh. Untuk ukuran seorang gadis sepertinya. Luh Tari sudah di rurung, begitu orang desa menyebut jalan kecil. Ia melihat sesuatu yang tidak biasa. Sebuah mobil terparkir di depan rumahnya. Mungkin orang puri, pikirnya. Di desanya, pemilik mobil hanyalah Puri. Penduduk desa yang sebagian besar petani pasti tidak bisa membeli mobil. Punya sepeda saja sudah untung. Jika memang tidak kaya sekali, tidak mungkin mampu membeli sebuah mobil di kala itu. Ia sedikit panik. Membuat masalah apalagi Bapa dengan orang puri. Bapa tidak bosan-bosan membuat masalah. Memang seringkali Bapanya membuat masalah, entah itu masalah judi atau masalah-masalah kecil lainnya. Kayuhannya semakin dipercepat. Ia menaruh sepedanya dekat angkul-angkul. Dengan sedikit
berlari ia memasuki rumahnya. Dari dekat bale dangin ia melihat Bapa sudah bersama orang-orang puri, dan salah satunya adalah Cokorda Agung. Memang ia kenal betul sosok itu. Siapa yang tidak kenal dia? Dia orang yang berkuasa di desa itu. Dia memiliki mobil, puri yang megah dan benyak sawah. Selirnya pun banyak. Memang seperti itulah kehidupan di puri. Tidak jadi rahasia lagi. Namun kali ini terlihat berbeda. Mereka malah tertawa bersama. Menertawakan sesuatu yang ia tidak mengerti. Dari tempat persembunyiannya, ia merasa kalau orang-orang itu akan pulang. Dia keluar dari tempat persembunyiannya di dekat bale dangin. Berharap mereka tidak melihatnya. Namun Poleng, anjingnya, melihat Luh Tari. Poleng menghampiri majikannya. Namun bapa malah melihat mereka berdua, kemudian memanggil.
“Luh, mau kemana? Sini dulu, ini ada Cokorda Agung. Sini kamu hormat dulu kesini.”
Dengan berat hari, Luh Tari berbalik badan menuju mereka. Ia hanya menunduk. Namun Bapa tak henti-hentinya mengatakan sesuatu yang ia tak mengerti. Cokorda Agung sesekali tertawa.
“Oh ini anaknya? Wah benar kabar yang saya dengar. Anak bapa cantik sekali.”
Mendengar hal tersebut, dahi Luh Tari sedikit mengertnyit. Cantik? Apa maksudnya? Kenapa dia menyanjungku seperti demikian?
“Bapa, saya akan balik ke puri sekarang. Jangan lupakan kesepakatan kita yang tadi ya, pa”
“Tenang saja, ratu tidak usah khawatir.”
Mereka kembali tertawa bersama. Cokorda mulai melangkah, tak lupa memalingkan wajahnya ke Luh Tari. Ia menaikkan alisnya. Janggal. Senyum liciknya seolah-olah menutupi sebuah rencana besar.
Entah apa yang akan terjadi. Siang itu Luh Tari hanya menaruh barang-barangnya di depan kamarnya di Bale daja, dimana biasanya orang bali menaruh pusaka dan anak gadisnya di bale ini.
………..
Beberapa hari berlalu, Luh Tari sedang duduk di depan kanvas. Kanvas tersebut masih kosong. Hanya beberapa goresan kecil pensil. Ia mulai menggoreskan kuasnya. Menyapu bagian yang ingin ia warnai. Dengan rapi ia mulai menggoreskan kuasnya membentuk sebuah pipi. Entah kenapa imajinasinya beberapa hari ini mengantarkan ia melukis seorang laki-laki. Entah apa yamg mempengaruhinya.
Bayangan laki-laki tersebut sangat jelas dibenaknya. Laki-laki tampan nan gagah. Wajah pemuda itu mulai terbentuk sempurna, wajah itu sangat tampan. Mungkin bila bersanding dengannya, wajah itu sangat cocok. Pemuda tampan dengan gadis yg cantik. Sempurna. Tapi yang ia pikir, darimana wajah itu? Dia rasa tak ada wajah setampan itu di desa ini. Ah sudahlah, gelap sudah mulai jatuh. Malam sudah mulai menjelang.
Seperti malam-malam lainnya, ia selalu menghabiskan malamnya dengan makan bersama keluarga kecilnya. Ibunya menyiapkan makanan, tak lupa Luh Tari membantunya. Sambil sesekali tertawa kecil, ia menyiapkan makanan tersebut. Di sela-sela bercandaan mereka, ibunya menanyakan
sesuatu yg tidak terduga. “Luh, kamu sampai mau ngelukis aja? Teman-teman sebaya kamu udah pada menikah, kamu saja belum. Anak Bapa Suja, Bapa Budi, Me Sri semua sudah menikah. Mereka-mereka kan seumuran dengan kamu? Bahkan anak Bapa Wayan saja lebih kecil dari kamu saja sudah menikah. Kamu kapan? Sampai kapan mau ngelukis terus. Lebih mending kamu bantu ibu mejejejaitan. Biar bisa jadi bekel nanti kalo kamu nikah. Ibu kan jago buat banten”
“Me, aku lagi tidak pengen ngomongin hal gitu, me. Lagi pula aku belum siap ninggalin Bapa,
Meme sama si poleng.”
“Kamu ini kalo ditanya serius itu dengerin.”
Wajah ibunya mendadak serius. Tawa yang tadinya ada kini menghilang bak tertelan malam.
Suasana di dapur tua itu kini mendadak sepi. Hanya suara jangkrik yang memenuhi dapur itu. Ingin rasanya Luh Tari cepat-cepat menyelesaikan masakanya, lalu makan dan tidur. Ia tidak ingin lagi berlama-lama. Berharap malam ini cepat berakhir.Ia kurang nafsu makan. Ketika duduk melingkar bersama keluarga kecilnya, ia hanya mengambil sedikit nasi dan beberapa sendok sayur yang ia buat tadi. Ayahnya menangkap kejanggalan itu. Tadi di dapur masih terdengar tawa-tawa kecilnya. Entah kenapa tiba-tiba ia bersikap dingin seperti ini.
“Kamu kenapa, luh? Daritadi Bapa liat kamu murung sekali.”
“Tidak, pa. Saya baik-baik saja.”
“Ah masak kayak gini biasa saja?”
“Ia, pa.”
Tak ada tanggapan yang berarti dari Luh Tari. Ibunya yang mengetahui hal itu menyuruh Bapa supaya diam. Jangan dulu mengganggu anaknya yang sedang murung. Biarkan ia tidur nyenyak malam ini. Mungkin besok pagi ia akan kembali ceria lagi dan melupakan segala yang membuat dirinya seperti ini.
Dikala pagi menjelang, Luh Tari dibangunkan oleh berkas cahaya yang menembus ukiran-ukiran jendela dengan gebyog sederhana dengan ukiran khas Bali. Lalu ia menurunkan kedua kakinya dari ranjang. Menyentuh dinginnya semen plester di pagi hari. Kemudian ia berdiri untuk membuka jendela dan melihat keadaan natah rumahnya. Terlihat induk ayam dengan anak-anaknya mengais-ngais tanah untuk mencari makanan, poleng yang selalu setia menjaga dapur dan Bapa yang tengah duduk di sekitarBale Dauh yang sedang megecel.
Saat siang semakin terik, saat semua pekerjaan rumah Luh Tari selesai dikerjakan, ia mulaikembali mengambil kanvasnya. Mengambil peralatan lukisnya, mengambil catnya dan segera duduk di
Bale Dangin. Ia membuka penutup kanvasnya. Seolah terkesima dengan wajah yang ada di kanvas, ia diam menatap kanvas sejenak. Ia menatap dalam lukisan tersebut, ia tak sadar jika tatapan tegas itumenatap langsung ke jiwanya. Seolah menghipnotis dirinya untuk terus menatap lukisan itu.
Setelah beberapa saat ia tersadar dan tersenyum. Ia kembali menggapai kuas dan catnya. Dengan cekatan ia menuangkan catnya dan kembali menggoreskan warna-warna indah di atas
kanvas. Saking asyiknya ia melukis, tiba-tiba saja bapa sudah dibelakang Luh Tari menyaksikan gerakan lembut tangan anaknya tatkala menggoreskan warna diatas kanvas.
“Siapa yang kamu gambar, Luh?”
“Saya tidak tahu, pa.”
“Lho, bagaimana kamu ini? Kamu yg ngelukis masak tidak tau itu siapa?”
“Aku serius, pa. Aku ngelukis ini cuma pakai bayangan saja.”
“Ah, kamu ada-ada saja. Bagaimana mungkin ngelukis cuma pakai bayangan saja. Lagi pula kamu sudah tidak melukis si Poleng lagi?”
Mereka berdua tertawa-tertawa kecil sejenak. Dengan tidak melepas tatapannya dari kanvas yg ia lukis, ia kemudian tersenyum sejenak dan kembali mengambil cat yang mulai kering di kuasnya.
“Jangan-jangan ini pacar kamu ya?”
“Tidak, pa. Saya mana ada yang mendekati? Saya cuma duduk di rumah saja. Tidak kemana- mana, tidak bermain-main di sekitar tukad, pa.”
“Bapa serius, Luh. Kamu ini sudah besar, kamu ini harus segera menikah.”
“Pa, saya masih belum siap meninggalkan meme dan bapa. Apalagi aku hanya perempuan satu-satunya anak bapa.”
“Kalau kamu tidak segera menikah, kamu bapa akan jodohkan! (dengan nada yang meninggi)
Sudah berapa orang yang mau minta kamu ke bapa? Terakhir, Cokorda meminta langsung ke rumah ini. Hanya demi kamu. Kalau dia mau kamu bisa saja sekarang langsung diambil menuju puri. Bapak yang tidak ngasi.”
“Aku tidak mau pa. Lihat dia, istrinya banyak. Bapa tega ngasi aku buat dimadu dia?”
Luh Tari berlinang air mata langsung mencabut kanvas dan lari menuju kamarnya membawa kanvas tersebut. Ia menangis di dalam kamar. Selama ini hidupnya baik-baik saja. Namun kenapa datang topik dia harus menikah? Apakah aku harus menikah? Aku belum siap! Aku masih senang di rumah ini.
Kenapa gadis Bali harus menikah di usia yang semuda ini?
Pertanyaan-pertanyaan terus memenuhi otaknya. Tanpa sadar ia masih memeluk kanvas itu,
kanvas yang cukup besar itu dirangkul kedua tangan putihnya. Oh iya, catnya belum kering! Benar saja, bajunya terkena cat yang belum. Untung saja itu cat yng mudah dibersihkan. Dan lukisannya tak rusak.
Luh Tari kemudian duduk diatas ranjangnya, masih memandang kanvas tersebut. Ditengah tangisnya ia masih bisa tersenyum memandang lukisan tersebut. Lukisan tersebut mampu meredakantangisnya. Seolah wajah di lukisan itu keluar dan menghiburnya. Entah kenapa, ada yang beda dengan lukisan tersebut. Ia kembali memeluknya dan merebahkan diri. Lama ia memandanginya sampai ia tertidur di atas ranjangnya.
to be continued….